www.hidayatullahriau.com. INNAA lillahi wa inna ilaihi roji’un. Warga dan keluarga besar Hidayatullah, khususnya di Sumatera Utara dan Pondok Pesantren Hidayatullah Medan, diliputi duka mendalam atas wafatnya salah satu kader terbaiknya, Ustadz Mu’tashim Billah.
Beliau berpulang pada hari Ahad, 6 Jumadil Akhir 1446/ 9 Desember 2024, setelah mengalami kecelakaan kerja saat kerja bakti massal di Pondok Pesantren Hidayatullah Medan.
Pak Tasim, demikian ia akrab disapa, meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Drs. H. Amri Tambunan, Lubuk Pakam, Deli Serdang, sekitar pukul 15.35 WIB. Beliau tertimpa dinding bangunan berukuran 3×3 meter yang roboh saat sedang dirancang ulang.
Dinding tersebut menghantam hampir seluruh tubuhnya, sementara kepala beliau terbentur tembok lain yang masih berdiri kokoh. Perawatan di ruang gawat darurat pun tak mampu menyelamatkan nyawa beliau.
Membersamai Perintisan
Lelaki pekerja keras bernama asli Nashib ini lahir di Bengkulu pada 2 September 1969, bergabung dengan Hidayatullah pada tahun 1993. Ia adalah santri gelombang kedua yang dikirim oleh Ustadz Abdul Kadir, seorang guru di STM Negeri Bengkulu sekaligus simpatisan kuat Hidayatullah.
Atas bimbingan dan motivasi Ustadz Abdul Kadir, Nashib, yang awalnya berencana menjadi santri di Cilodong (Depok), memilih bergabung dengan Pondok Pesantren Hidayatullah Medan yang kala itu masih dalam tahap perintisan.
Ketika itu, yang menjadi pimpinan pondok Hidayatullah Medan adalah Ustadz Suratman, selanjutnya kemudian digantikan oleh Ustadz Drs. Khusnul Khuluq, MM.
Nama Nashib kemudian diubah menjadi Mu’tashim Billah oleh Ustadz Drs. Khusnul Khuluq, MM., yang berarti “orang yang berpegang teguh kepada Allah.” Sejak saat itu, nama tersebut menjadi cerminan dari karakter kuat dan dedikasi almarhum sebagai seorang santri, pekerja keras, dan pendakwah.
Dari Bengkulu, Mu’tashim muda pun tiba di Medan bersama 13 orang temannya dengan menaiki bus Mawar Selatan.
Di antara rekan seperjalanannya kala itu adalah Heri Kusmiran, SE (sekarang Sekretaris DPW Hidayatullah Riau) dan Sugiono, S.Pd (guru tetap di Kampus Utama Hidayatullah Medan. Lalu ada Abdul Qohhar, Supari, Syuhada’, Adha, Ahmadi, dan Hadimin yang kesemuanya dari 6 orang yang disebutkan terakhir sudah tidak ada lagi kabarnya.
Mu’tashim datang ke Medan sebagai santri, belum bisa naik sepeda sama sekali. Karena diberi tugas oleh pengurus untuk mengedar majalah Suara Hidayatullah, serta mencari donatur untuk penyelenggaraan panti asuhan ketika itu, akhirnya dia harus belajar naik sepeda.
Dan, setelah bisa naik sepeda, ia mencari pelanggan majalah dan donatur sampai ke Belawan, dekat dengan pelabuhan Kapal. Padahal jarak yang harus ditempuh adalah 42 km.
Saban hari Mu’tashim mengedar majalah dan mencari donatur dengan naik sepeda, rute perjalanan rutinnya dari Tanjung Morawa ke Kecamatan Perbaungan dimana jarak yang harus ditempuh adalah 22 kilo meter.
Pada masa awalnya, Pondok Pesantren Hidayatullah belum memiliki kampus tetap. Mu’tashim dan kawan kawan menempati rumah kontrakan di Jalan Karya III/08 Helvetia, Medan, sebelum akhirnya berpindah ke Jalan Bilal.
Perjuangan para santri muda, termasuk Mu’tashim, membuahkan hasil ketika pondok mendapatkan tanah wakaf seluas 3,5 hektar di Desa Bandar Labuhan, Kecamatan Tanjung Morawa, dari Badan Kenadziran Wakaf Kabupaten Deli Serdang.
Perjalanan Pengabdian
Pada tahun 1996, Mu’tashim menikah dengan Rum’ati, seorang santriwati asal Bengkulu yang sebelumnya belajar di Pondok Pesantren Hidayatullah Palembang.
Pernikahan mereka berlangsung bersamaan dengan dua pasangan lainnya, yaitu Muslihuddin Akbar dengan Linda Khoirunnisa’, serta Sulaiman dengan Nur. Pernikahan ini menjadi babak baru dalam hidupnya, membawa tanggung jawab lebih besar dalam mendidik dan berdakwah.
Tahun 2003, Mu’tashim diberi amanah untuk berdakwah ke Pulau Nias. Selama dua tahun di sana, ia menghadapi tantangan besar, termasuk gempa bumi dahsyat yang melanda Nias pada 2005.
Setelah itu, beliau kembali dipanggil bertugas ke Tanjung Morawa untuk mengemban tugas sebagai Kepala Kampus sekaligus Kepala Dapur Umum Pondok Pesantren Hidayatullah Medan yang bertanggung jawab memastikan ketersediaan sajian makanan para santri. Posisi ini dijalani dengan penuh dedikasi tinggi hingga akhirnya beliau fokus pada tugas sebagai Kepala Kampus.
Keteguhan Hingga Akhir
Mu’tashim meninggalkan jejak yang luar biasa dalam pengabdian. Ia dikenal sebagai pribadi yang selalu ramah, sederhana, pekerja keras, dan penuh keikhlasan. Bangun malam menyerap energi Ilahi melalu tahajjud menjadi kebiasaan rutinnya, sementara doa dan usaha menyertai setiap langkah perjuangannya.
Di akhir hayatnya, beliau meninggalkan istri tercinta, tiga putri: Nur Hasanah, S.Ag, Faridah, S.Ag, Fauziyah, dan seorang putra, Muhammad Zuhri Fadhlullah, SE. Kebanggaan keluarga, Zuhri baru saja menyelesaikan pendidikannya dengan predikat lulusan terbaik di STIE Hidayatullah Depok pada awal Oktober 2024 lalu.
Jenazah Mu’tashim dimakamkan di pemakaman khusus Pondok Pesantren Hidayatullah, Raudhatut Tadzkiroh (Taman Mengingat Kematian). Pada Senin, 9 Desember 2024, pukul 9.00 WIB, shalat jenazah dilaksanakan di Masjid Baitul Akbar, sebuah masjid yang diresmikan oleh tokoh politik nasional, Akbar Tanjung. Kehadiran jamaah, para santri, keluarga, rekan sejawat, dan warga menegaskan cinta dan hormat mereka kepada almarhum.
Selama lebih dari tiga dekade, Mu’tashim Billah menjadi teladan dalam pengabdian dan perjuangan di Hidayatullah. Ia turut membangun pondasi pondok dari masa perintisan hingga menjadi institusi pendidikan yang berdampak besar. Sosoknya yang bersahaja akan terus dikenang oleh setiap jiwa yang mengenalnya.
Semoga seluruh amal ibadah, pengorbanan, dan dedikasi beliau diterima Allah Ta’ala. Semoga Ustadz Mu’tashim Billah ditempatkan di surga-Nya, bersama para hamba yang teguh berpegang pada agama-Nya. Allahumma firlahu warhamhu wa afihi wa’fuanhu.
*) Ust. Drs. Khoirul Anam, penulis Anggota Dewan Murabbi Wilayah (DMW) Hidayatullah Sumut, guru ngaji di Rumah Qur’an Yahfin Siregar Tamora dan pengasuh Hidayatullah Al-Qur’an Learning Centre Medan